NU dan Faham Keislaman Nusantara
Latar
Belakang
Islam sudah
masuk ke Indonesia sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat Ratu Simha berkuasa di Kalingga sebagaimana
diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Namun Islam kurang mendapat
tanggapan baik, karena orang Arab (tazhi)
yang datang di Kalingga menimbulkan tindakan tidak simpatik yang mengakibatkan
kaki putera mahkota Kalingga dipotong (Groeneveldt, 1877). S.Q. Fatimy (1963)
mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke
Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan
pemukiman-pemukiman di Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam
Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram
abad ke-10 Masehi adalah bukti kebenaran berita tersebut. Akhir abad ke-13,
Marcopolo yang kembali dari Cina lewat lautan, mencatat bahwa di negeri Perlak
saat itu sudah ada pemukim muslim Cina,
Persia dan Arab.
Historiografi Jawa mengungkapkan bahwa dalam usaha mengislamkan Jawa, Sultan
Al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand-pen) dari negeri Rum mengirim 20.000
keluarga muslim untuk menghuni Jawa yang kala masih dihuni siluman, peri,
mambang, brekasakan, dan ruh-ruh jahat. Namun dikisahkan bahwa dari 20.000 keluarga muslim itu tewas terbunuh oleh para siluman dan
makhluk-makhluk halus yang jahat. Lalu dilaporkan kepada Sultan al-Gabah bahwa
dari 20.000 keluarga itu hanya tersisa 200 keluarga. Sultan Al-Gabah murka lalu
mengirim para ulama sakti untuk melawan para siluman beserta balanya. Di antara
ulama itu terdapat Syaikh Subakir yang menanam tumbal agar Jawa bisa dijadikan
hunian umat Islam. Setelah menumbali Jawa, Syaikh Subakir dikisahkan kembali ke
Persia.
Tahun 1386 penduduk muslim Cina di Kanton,
Yangchou dan Chanchou banyak yang mengungsi ke selatan akibat tidak setuju
dengan kebijakan kaisar pertama dinasti Ming, Shu Yuan Zhang, yang menjadikan
suku “Han” sebagai identitas nasional suku-suku dan
bangsa—bangsa yang tinggal di wilayah Ming.
Penduduk muslim Cina kemudian mengungsi ke selatan dan menghuni pantai
utara Jawa dan pantai Timur Sumatera. Mereka berpangkalan di Palembang dipimpin
Liang Tau Ming, Cheng Po-ko, Chen Tsui, Shi Chin Ching. Tahun 1405 Cheng Ho yang datang ke Jawa mencatat
bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat masing-masing 1000 orang keluarga
Cina muslim. Dalam tujuh kali
muhibahnya, Cheng Ho dikisahkan dalam
pelbagai historiografi lokal
meninggalkan mubaligh-mubaligh untuk berdakwah di Jawa dan Sumatera.
Namun seperti para migran muslim yang mengungsi dari Kanton, Yangchou dan
Chanchou, para mubaligh yang
ditinggalkan Cheng Ho, belum bisa menyebarkan secara luas ajaran Islam di
kalangan penduduk pribumi. Haji Ma Huan
pada 1433 mencatat warga pribumi yang tinggal di kota-kota pantai utara Jawa
masih kafir, memuja roh dan hidup sangat kotor.
Migrasi penduduk muslim terbesar terjadi antara
1446 – 1471, ketika negeri Campa terlibat perang dan dikalahkan Vietnam.
Penduduk muslim Campa lari ke selatan dan menghuni pantai timur Sumatera dan pantai
utara Jawa. Sebagian di antaranya berkumpul
dengan penduduk muslim Campa yang tinggal di ibukota Majapahit sejak 1430-an.
Gelombang migrasi penduduk muslim Campa inilah yang paling besar peranannya
dalam proses Islamisasi di Indonesia, karena Islam Campa
dewasa itu dikembangkan melalui aspek
sosio-kultural-religius, yang dipelopori tokoh-tokoh spiritual yang dikenal
sebagai guru tasauf. Itu sebabnya, James L. Peacock (1978) menyatakan bahwa
Islam yang datang di Nusantara adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima
serta diserap ke dalam sinkretisme.
Ajaran
Kapitayan
Jauh sebelum Islam masuk, di
Nusantara terdapat agama kuno yang
disebut Kapitayan – yang secara keliru
dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme -- yaitu
agama yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang
bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Sesuatu Yang Absolut
yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan
pancaindera. Orang Jawa mendefinisikan
Sanghyang Taya dalam satu kalimat “ tan kena kinaya ngapa” alias
tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah
Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang
bermakna ‘daya gaib’ yang bersifat adikodrati.
TU atau TO adalah tunggal
dalam Dzat. Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia
memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang
bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut
dengan nama Sanghyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang
Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu
baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak
dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya
saja.
Oleh karena Sanghyang
Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan
sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu
sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa
kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut TU atau TO itu
‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut
ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-tuk,
TU-nda, TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k,
TU-ban, TU-mbak, TU-nggak, TU-lup,TU-ngkub, TU-rumbukan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng,
TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya (sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang
dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara,
Sarcopagus, dll). Dalam melakukan bhakti
memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilajh, orang menyediakan sesaji
berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sanghyang Taya melalui
sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Seorang hamba pemuja
Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat
positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah
dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin
masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau dha-TU. Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah
dan TU-lah,gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan
rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU,
menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut
PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut
PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut
PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut
PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja
lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan
air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan
disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan
kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ra-TU adalah citra Pribadi Sanghyang
Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat
sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat
kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU yang dituntut keharusan fundamental
memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak
keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah
dan TU-lah, dengan mula-mula menjadi
penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan
kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan
demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik
kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang
dimilikinya.
Ajaran Bhagavatisme
Pengaruh Kapitayan dalam
sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan
ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para
pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam
pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah
memberi motivasi bagi raja-raja
Nusantara yang awal untuk menganut Vaishnava.
Sekalipun pengaruh sistem
kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa di Nusantara, namun sistem lama yang
bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. Keberadaan seorang raja atau
maharaja, misal, selalu ditandai oleh kedudukan ganda sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja,
dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di
samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja selalu ditandai oleh kepemilikan atas
benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak,
TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dsb. Sistem kekuasaan di Nusantara
mensyaratkan keberadaan ra-TU dengan benda-benda ber-TU-ah.
Akibat pengaruh
Bhagavatisme, sepanjang sejarahnya keberadaan kekuasaan di Nusantara tidak
terpisah dari agama dan wangsa. Sebab
kedudukan raja hanya dimungkinkan bersifat kewangsaan berdasar kepewarisan
trah. Bahkan akibat kuatnya pengaruh
Bhagavatisme, kewangsaan dan keagamaan menjadi sebuah keniscayaan bagi dinasti
raja-raja Nusantara.Fakta sejarah menunjuk, agama dan wangsa adalah dua hal
yang tidak terpisah dalam sejarah pasang
dan surutnya kekuasaan di Nusantara. Hal itu terjadi, karena keberadaan agama
di Nusantara selain cenderung menjadi identitas wangsa-wangsa penguasa kerajaan
juga terkait dengan trah atau dinasti-dinasti dari ratu-ratu sebelumnya. Kasus
perebutan tahta Mataram (kuno) antara Wangsa Sanjaya yang Hindu dan Wangsa
Syailendra yang Buddha, adalah salah satu bukti
kuatnya pengaruh Hinduisme di dalam
kekuasaan di Nusantara sejak
zaman purbakala.
Keterkaitan antara agama dan wangsa yang terjadi
pada era Mataram (kuno), berlanjut pada masa persaingan antara Kerajaan
Janggala yang cenderung menganut Sivaisme dan Kerajaan Panjalu yang cenderung
menganut Vaishnava. Keberadaan Sriwijaya yang Buddhis,
terbukti dianggap ancaman oleh raja-raja Jawa sampai era Panjalu. Bahkan saat
Panjalu runtuh digantikan Tumapel, terjadi persaingan kuat antara keturunan
Rajasa Sang Amurwabhumi yang Sivais dan keturunan Tunggul Ametung yang
Vaishnava. Boleh jadi karena pertikaian dalam hal agama di antara keturunan Rajasa
dan Tunggul Ametung harus diakhiri, maka sejak era Kertanegara dianut agama
Siva-buddha yang merupakan suatu faham di luar mainstream Hindu dan bercorak
shakta. Sehingga pada saat Singasari runtuh digantikan Majapahit, para wangsa
yang keturunan Rajasa Sang Amurwabhumi dengan setia menganut ajaran
Siva-buddha. Dan semua wangsa di Majapahit – baik keturunan Rajasa maupun
Tunggul Ametung – menganut Siva-buddha. Namun saat kekuasaan berpindah ke
tangan keturunan Tunggul Ametung lewat naik tahtanya Wikramawarddhana, mulai
terlihat perubahan-perubahan nuansa ajaran Siva-buddha yang banyak dipengaruhi
munculnya unsur-unsur lokal. Sehingga di masa Rani Suhita, unsur lokal itu
sangat kelihatan sebagaimana tercermin pada Candi Sukuh. Bahkan di era Prabhu
Kertawijaya, unsur lokal dan Islam mulai tampak sebagaimana tercermin pada
Candi Cetha.
Sepeninggal Prabhu Kertawijaya, Majapahit dijadikan rebutan antara
keturunan Kertawijaya dan keturunan saudaranya, Bhre Tumapel. Dalam perebutan
itu, tampak sekali terjadinya nuansa keagamaan yang menandai masing-masing
pihak. Keturunan Bhre Tumapel seperti Bhre Pamotan Sang Sinagara, Hyang
Purwawisesa dan Bhre Kretabhumi adalah penganut Siva-buddha. Sementara
keturunan Kertawijaya seperti Ario Damar dan Raden Patah menganut Islam meski
Prabhu Girindrawarddhana cucu Prabhu Kertawijaya masih memeluk Siva-buddha.
Ajaran Dewaraja & Nawadewata
Sejak awal sejarah
kekuasaan di Jawa yang dimulai di Tarumanagara dengan raja Sri Paduka
Purnawarman Bhimaparakramadhipa, raja-raja Jawa cenderung menganut Vaishnava.
Hal itu, kemungkinan terkait kuat dengan alasan rasional tentang ajaran
bhagavatisme dalam Vaishnava, tentang avatar (manusia Ilahi) titisan Vishnu, di
mana kedudukan seorang raja, dalam konteks
Vaishnava, adalah jelmaan Tuhan di dunia sebagaimana Raja Ayodhya, Sri Rama,
dan Raja Dvaravati, Sri Krshna.
Bertolak dari ajaran
bhagavatisme dalam Vaishnava
tersebut, lahir konsep ‘dewaraja’ dalam
pemujaan terhadap Tuhan, di mana ajaran tersebut kemudian mempengaruhi pula
ajaran Siva-buddha. Dengan kecenderungan itu, maka raja-raja di Jawa tidak saja
menuai keuntungan politis sebagai penguasa tunggal yang mewakili Tuhan di
wilayah kekuasaannya, melainkan dijadikan pula sesembahan oleh para kawula.
Vishnuwarddhana, Raja Tumapel, diyakini sebagai titisan Vishnu dan dipuja di
Jayaghu sebagai Siva-buddha karena para pendiri candi Jayaghu penganut
Siva-buddha. Kretanegara dipuja sebagai Siva di candi Singasari tetapi dipuja
sebagai Buddha di candi Jajawi.
Konsep pemujaan ‘dewaraja’
yang bersumber dari ajaran bhagawatisme berlanjut hingga ke masa masuknya Islam
di Nusantara. Makam para susuhunan (Jawa Kuno: raja, guru suci) dijadikan
peziarahan untuk mencari berkah dan meminta pertolongan. Dan tidak berbeda
dengan konsep’dewaraja’, kalangan umat Islam awam menjadikan makam-makam para
susuhunan yakni raja-raja atau guru sucinya sebagai tawasul dalam menyembah Tuhan. Konsep pemujaan
terhadap ‘dewaraja’ yang berlanjut hingga ke masa Islam, hanyalah bagian dari
pengaruh-pengaruh agama dalam kekuasaan dan kehidupan masyarakat Jawa. Konsep
keagamaan lain yang juga nampak, adalah diterapkannya gagasan Nawadewata atau
Nawasanga dalam konsep kekuasaan Hindu yang meliputi Vishnu (utara), Sambhu
(timur laut), Iswara (timur), Rudra (tenggara), Brahma (selatan), Maheswara
(barat daya), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), dan Paramasiwa (pusat).
Konsep Nawasanga inilah yang di era kerajaan-kerajaan Islam disebut dengan nama
Wali Songo, yang sesungguhnya bermula dari gagasan Syaikh Siti Jenar tentang
Wali Nagari di Cirebon. Bahkan salah satu anggota Wali Songo yang paling
berkuasa, menggunakan gelar Siva yakni Prabhu Satmata yang bersemayam di Giri
Kedhaton.
Salah satu proses Islamisasi yang dilakukan para
pengungsi Campa yang melalui asimilasi
budaya dan pengambil-alihan lembaga pendidikan Syiwa-buddha yang disebut Asrama
dan Dukuh menjadi Pondok Pesantren,
menunjukkan hasil menakjubkan. Karena para guru tasauf mampu memformulasikan nilai-nilai
sosio-kultural religius yang dianut masyarakat
Syiwa-buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama memformulasi nilai-nilai
Tauhid Syiwa-buddha (adwayasashtra) dengan
ajaran Tauhid Islam yang dianut para guru sufi.
Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah
tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-buddha yang
disebut Dukuh, yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku.
Naskah-naskah berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal
dari era Majapahit, memuat tatakrama siswa di Dukuh dalam menuntut pengetahuan, yang disebut Gurubhakti
yang berisi tatatertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para
siswa kepada guru ruhaninya. Para siswa, dalam tatakrama itu, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru,
tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru,
mengindahkan nasehat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang
menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru
berjalan mengikuti dari belakang, dsb. Ketundukan siswa kepada guru adalah
mutlak.
Gagasan gurubhakti dalam Silakrama mencakup tiga (triguru),
yaitu orang tua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan
pengetahuan ruhani (gurupangajyan) dan raja (guruwisesa). Gagasan
ini kita, sampai sekarang masih temukan
dalam masyarakat muslim di Madura yang mengenal konsep bapa-babu-guru-ratu
– pen). Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru itu adalah
gurupangajyan, karena gurupangajyan telah membukakan kesadaran kedua untuk
mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksha. Khusus untuk
gurupangajyan di Dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak
melakukan diksha (baiat) disebut dengan gelar Susuhunan. Demikianlah, guru-guru
sufi di masa silam mendapat gelar susuhunan; Dukuh disebut Pesantren – tempat
para santri belajar – di mana santri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang
bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan C.C. Berg (dalam Gibb, 1932:257);
sementara tatakrama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) diwujudkan dalam aturan-aturan yang terdapat dalam
kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh Ibrahim Ibnu Ismail.
Selain gurubhakti, seorang siswa dalam menuntut pengetahuan diwajibkan
menjalankan ajaran Yamabrata, yakni
ajaran yang mengatur tatacara
pengendalian diri, yang meliputi prinsip
hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak
membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana
(angkara murka), mada (takkabur),
matsarya (iri dan dengki), dan raga (mengumbar nafsu). Di dalam
naskah Wratisasana disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup ahimsa,
brahmacari, satya, aharalaghawa, dan asteya. Meski
prinsip ahimsa dimaknai
tidak menyakiti dan tidak membunuh dan
seorang wiku harus memiliki sifat kasih sayang terhadap semua makhluk,
namun ditegaskan bahwa seorang wiku (siswa ruhani), boleh melakukan himsakarma
(qishash), yaitu membunuh atau
menyakiti orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela
diri. Tetapi himsakarma tidak boleh dilakukan terhadap penjahat yang sudah
tertangkap dan tidak berdaya. Wiku yang disiksa, ditindas, dianiaya, dipukuli,
dicaci-maki, harus membalasnya secara setimpal.
Seorang wiku diharuskan
bersifat satya yaitu jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya
tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu dan menyumpahi, tidak
berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata
yang terkait dengan makanan, minuman, tatacara berpakaian, tempat tinggal,
hingga perhiasan yang disebut sebagai satyabrata. Di antara isi satyabrata yang
sangat mirip syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan
bhaksanan) dan minuman (apeya-peya), di mana seorang wiku diharamkan
memakan: daging babi peliharaan (celengwanwa),
anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma), badak (warak),
kucing (kuwuk), tikus, ula, macan, kukur (ruti), kalajengking (teledu),
kera (wre), rase, tupai (wut), katak (wiyung), kadal (dingdang
kadal), hewan melata, burung buas (krurapaksi), burung gagak (nilapaksi),
lalat (laler), kepinding (tinggi), kutu (tuma), ulat atau
cacing tanah (bhuhkrimi), dsb. Seorang wiku tidak boleh memakan makanan
yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan diragukan kesuciannya.
Selain makanan, seorang wiku juga wajib
menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem,
ciu. Demikianlah, ajaran Yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan
dalam kehidupan par santri di pesantren.
Ajaran Niyamabrata tak
jauh beda dengan Yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata
memiliki makna tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja
melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat tidak suka marah (akrodha).
Secara ruhani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (gurususrusa),
memohon kebersihan batin (sausarcara), mandi tiap hari mensucikan diri (madyus
acuddha sarira), bersembahyang memuja Syiwaditya, melatih menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar
sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam
ajaran tasauf, yamabrata dan niyamabrata
dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari
nafsu-nafsu rendah -pen) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat
Ilahi-pen) sehingga seorang penempuh jalan ruhani tercapai tajalli
(penyingkapan diri-pen), yakni beroleh
pencerahan mengetahui Kebenaran Sejati.
Demikianlah, ajaran tasauf dapat diterima masyarakat karena ada anggapan umum
bahwa pengetahuan ruhani Islam tidak berbeda dengan Syiwa-buddha.
Ajaran Aharalaghawa adalah
bagian dari niyamabrata yang bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep Jawa
disebut Madya -- ora ngoyo lan orang ngongso – tidak berlebihan dan
tidak melampaui batas (di dalam Islam disebut wasathan – pen). Aharalaghawa,
lebih dimaknai makan tidak berlebihan (tidak makan jika tidak lapar dan makan
pun tidak boleh kenyang), memakan makanan suci, membatasi makan daging (bhogasarwamangsa),
bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa), tidak rakus (wubhuksah),
tidak malas dalam menjalankan kewajiban
(apramada)
Bagian akhir sesudah
aharalaghawa adalah asteya, yaitu tidak mengikuti hasrat hati untuk memiliki
hak milik orang lain bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Silakrama
menyebut, jika seorang wiku mengambil milik orang lain tanpa ijin (panolong-nolongan),
mencuri (malinga), mengutil (angutil), menadahi hasil kejahatan (anumpu),
merampok (ambegal), melakukan tindak kriminal (corah), merampas (angalap),
berkawan pencuri (amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (anelang
drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga (rna-rni),
berjudi (ajudi), dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh martabat
dan kehormatannya (panten). Wiku
yang panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana)
dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).
Berdasar uraian di muka, jelaslah bahwa dalam pendidikan
seorang wiku (calon pendeta Syiwa-buddha) di tempat yang disebut Dukuh, menunjukkan kemiripan dengan pendidikan di pesantren-pesantren tradisional Islam, di
mana aspek pendidikan lebih
dititik-beratkan kepada pembentukan watak dan
budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak
mulia, cerdas, berbudi pekerti luhur,
jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan ‘syariat’ dengan baik,
selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bertolak dari kemiripan-kemiripan nilai-nilai dan
ajaran Syiwa-buddha dengan Islam, para ulama sufi di era Wali Songo dapat
dengan baik membumikan Islam di Jawa melalui asimilasi, di mana salah satu
usaha yang dilakukan oleh ulama-ulama
era Wali Songo tersebut adalah mengembangkan jumlah dukuh
ke berbagai Thani (sebutan desa di era Majapahit – pen). Yang paling
jelas menyisakan legenda dan mitos pembangunan dukuh-dukuh ini adalah tokoh
Syaikh Lemab Abang atau Syaikh Siti Jenar, yang diketahui membangun puluhan
dukuh bercitra caturbhasa mandala yang dinamai Lemah Abang (tanah merah), Lemah
Putih (tanah putih), Lemah Ireng (tanah hitam), dan Ksiti Jenar (tanah kuning).
Di Ampel Denta pun, letak dukuh berada di selatan masjid yang sampai sekarang
dikenal dengan toponim Kampung Dukuh.
Tampaknya, melalui pengembangan dukuh-dukuh yang
semula merupakan tempat bermukimnya para siswa dan wiku, ajaran Islam dapat
berkembang di tengah masyarakat. Sebab semakin banyak dukuh dan semakin banyak
orang menjalani kehidupan sebagaimana seorang wiku, ajaran Islam yang mirip
tatanan Syiwa-buddha bagi wiku itu semakin berkembang luas di tengah
masyarakat. Itu sebabnya, kelahiran
Islam tradisional yang khas dari lembaga pendidikan tradisional yang kemudian
dikenal dengan nama Pesantren sangat
akrab dengan istilah-istilah lokal keagamaan Syiwa-buddha yang
‘membumikan’ istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab seperti Gusti Allah
(Allah), Kangjeng Nabi (Nabi Muhammad Saw), Susuhunan (syaikh), Kyai (‘alim),
Guru (ustadz), Santri (murid), Pesantren (halaqah/ ma’had/ madrasah),
Sembahyang (shalat), Upawasa (shoum), Selam (khitan), Tajug atau Langgar (mushola), Swarga (jannah), Neraka
(naar), Bidadari (hurin), Sabar (shabar), Adil (‘adil), Lila (ridha),
andap-asor (tawadlu’), Ngalah (tawakkal), dan tradisi-tradisi keagamaan
Syiwa-buddha yang tidak terdapat dalam ajaran Islam seperti Bedhug (tambur
tengara sembahyang di sanggar atau
vihara), Tumpeng, Tumbal, Nyadran
(dari upacara Sraddha, yaitu berkirim doa kepada arwah leluhur), dsb.
Asimilasi Sosio-Kultural-Religi
Masyarakat
Dr Th. G. Th Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938) mengemukakan
bahwa wayang kulit purwa yang dikenal sebagaimana sekarang ini adalah produk
yang dihasilkan oelh wali-wali penyebar Islam. Menurut Soekmono (1959) yang
menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia jaman madya adalah kebudayaan
purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba
dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang oleh Prof
Dr C.C Berg (1938) dan Pof Dr G.J. Held
(1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari
kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan
kepercayaan terhadap arwah. Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana
ditengarai Soekmono, adalah bukti asimilasi yang dilakukan para penyebar Islam
generasi Wali Songo.
Pengaruh terbesar
kehadiran para pengungsi Campa di Indonesia adalah terjadinya asimilasi budaya
Campa ke dalam tradisi keagamaan di Indonesia. Salah satu ciri tradisi
keagamaan Campa yang dianut di Indonesia adalah dianutnya kebiasaan untuk
memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000. Orang mati ditalqin. Peringatan haul. Tradisi Garebeg Suro dan Garebeg
Maulud yang dijalankan sejak abad ke-15 adalah usaha asimilasi untuk membumikan
ajaran Islam (Sunyoto, 2004).
Asimilasi terhadap
kepercayaan lama yang terjadi dengan kepercayaan muslim Campa, terlihat dari
keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar manusia.
Menurut Sedyawati (1994) kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk
halus terbatas pada makhluk-makhluk yang dianggap setengah dewa seperti
“yaksha, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara, widhyadara,
mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang
mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton. Sementara kepercayaan orang Campa
muslim meliputi berbagai jenis makhluk halus seperti gandharwa, kelong wewe,
kuntilanak, pocong, tuyul, kalap, siluman, jin muslim, hantu penunggu pohon,
arwah penasaran. Di dalam proses asimilasi itu, orang-orang Indonesia
terpengaruh oleh kepercayaan takhayul khas Campa seperti percaya terhadap
hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada malam hari, menyebut harimau dengan sebutan
“eyang”, dsb.
Asimilasi dalam Usaha Bina Negara
Sekalipun asimilasi dilakukan di
pesantren-pesantren, namun dalam aplikasi penyebaran hasil asimilasi kepada
masyarakat terdapat kecenderungan menggunakan keraton (negara) sebagai
sentral. Demak adalah Kerajaan Islam
pertama di Jawa pasca runtuhnya Majapahit yang dianggap menjadi sentral penyebaran
asimilasi sosio-kultural-religius itu. Menurut historiografi Jawa, Kerajaan
Demak ditegakkan oleh Raden Patah dengan gelar Sultan Abdul Fatah Senapati
Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, yang merupakan murid Susuhunan
Ampel. Sekalipun Demak dianggap Kerajaan Islam, namun tata pemerintahan dan
produk hukum yang dijadikan acuan penegakan negara menunjuk pada pola
Majapahit. Angger Surya Ngalam, kitab hukum era Demak, meski merujuk pada kitab
Al-Anwar namun secara substansial lebih dekat kepada hukum yang termaktub di
dalam kitab Salokantara dan Kutaramanawa Dharmasashtra dari Majapahit. Hal itu
menunjuk bahwa proses asimilasi sosio-kultural-religius dilakukan juga pada
usaha bina negara oleh santri alumnus Dukuh Ampel Denta tersebut. Bahkan
belakangan, putera Raden Patah yang bernama Trenggana, menyempurnakan
syarat-syarat berdirinya sebuah kekuasaan tradisional dengan memboyong
pusaka-pusaka Majapahit ke Demak, sehingga Demak dianggap sebagai kelanjutan
Majapahit.
Secara tradisional,
keberadaan sebuah negara agar mendapat legitimasi dari rakyat diwajibkan
memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Pertama, negara harus memiliki seorang
ratu yakni manusia kuat yang diliputi kekuatan-kekuatan supranatural dan
memiliki kemampuan memimpin negara. Kedua, kewibawaan negara hanya mungkin terjadi
jika negara ditunjang oleh kekuatan supranatural yang berupa pusaka-pusaka yang
memiliki daya sakti sehingga negara yang tidak memiliki pusaka kurang
mendapat legitimasi di mata rakyat. Ketiga, sejak era Kalingga pada abad ke-7
Masehi sebuah penegakan hukum yang keras menjadi prasyarat bagi otoritas negara
dalam mengatur tatanan warganegara. Keempat, kekuasaan seorang pemimpin negara
akan legitimated di mata rakyat jika didukung oleh kalangan elit spiritual.
Kasus runtuhnya kekuasaan Kertajaya penguasa Kediri, jelas bermula dari
penolakan dukungan para pendeta Syiwa atas kebijakannya untuk disembah sebagai
penjelmaan dewa. Sampai penegakan Kerajaan Demak, kedudukan Wali Sanga sebagai
lembaga tempat elit spiritual keagamaan
menjadi penopang utama kerajaan tersebut. Ketika Sultan Adiwijaya
menjadi penguasa Pajang, keabsahannya baru mendapat legitimasi rakyat setelah
dilantik oleh Sunan Prapen dari Giri. Demikian pun raja-raja Mataram, selalu
mendapat legitimasi dari Sunan kalijaga dan keturunannya. Dan fenomena semacam
itu, tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai suatu asimilasi dari sistem kekuasaan tradisional dengan Islam.
*) Disampaikan pada Pendidikan Kader Penggerak NU
Angkatan II tanggal 8 – 16 Juni
2012 di
Rengasdengklok, Karawang. Penyaji adalah Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU;
Pengasuh
Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang; Pengajar pada Fakultas Ilmu
Budaya
Universitas Brawijaya Malang.
Oleh: Agus Sunyoto
Daftar Kepustakaan
Amir,
Hazim, Nilai-nilai Etis dalam wayang dan
pendidikan watak guru (Disertasi tidak dipublikasi).
Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang, 1986.
Appelbaum,
R.P., Theories of Social Change, Chicago: Markham Publishing, 1970.
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren
Tebuireng, Kalimasahada Press, 1993.
Babad Sangkala: - Naskah di
Museum Nasional Jakarta. Koleksi Brandes No. 608.
De Graaf, H.J., Cina Muslim di
Jawa abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos., Yogya: Tiara Wacana,
1998.
De Graaf, H.J. dan Th. G. Th.
Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Fatimy, S.Q., Islam Comes to Malaysia, Singapore:
Malaysian Sociological Research Institute, 1963.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, London: The Free
Press of Glencoe, 1960
Groeneveldt, W.F., Historical Notes on Indonesia and Malaya,
Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, 1960.
Ecole Francaise D’extreme-Orient,
Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka, 1981.
Hirth, F. And Rockhill, W.W., Chau-Ju-Kua:
His Work on the Chinese and Arab Trade
in the Twelfth and thirteenth Centuries, entitle Chu-fan-chi, Amsterdam,
1966.
Meinsma, J.J., Babad Tanah
Djawi in Proza. Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der
Javansche jaartelling. ‘s-Gravenhage: KITLV, 1884-1899, 2 jilid.
Peacock, James L., Purifying the Faith. California, 1978.
Pigeaud, Th. G. Th., Java in Fourteenth Century : A Study in
Cultural History, The Hague: Martinus-Nijhoff, 1962.
Puniyatmadja, Ida bagus Oka, Silakrama, Denpasar: Parisada Hindu
Dharma Pusat, 1975.
Sedyawati, Edi, Pengarcaan Ganesa masa Kediri dan Singhasari,
Jakarta-Leiden: EFEO-LIPI-Rijk Universiteit te Leiden, 1994.
Soekmono, R., Candi, Fungsi dan
Pengertiannya (Disertasi tidak dipublikasi), Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1974.
Sunyoto, Agus, Ajaran Tasauf dan pembinaan sikap hidup
santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi Kasus. (Tesis tidak dipublikasi).
Malang: FPS IKIP.
____________, Sunan Ampel Raja Surabaya, Surabaya:
Diantama, 2004.
Tingkahing Wiku, (naskah berbahasa Jawa Kuno ditranskrip I Made Gambar).
Van Dusen, Henry
P., God and Education, New York:
Scribners, 1951.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar