Sabtu, 19 Oktober 2013

NU dan Faham Keislaman Nusantara




Latar Belakang 
Islam  sudah masuk ke Indonesia sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat  Ratu Simha berkuasa di Kalingga sebagaimana diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Namun Islam kurang mendapat tanggapan baik, karena orang Arab (tazhi) yang datang di Kalingga menimbulkan tindakan tidak simpatik yang mengakibatkan kaki putera mahkota Kalingga dipotong (Groeneveldt, 1877). S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah bukti kebenaran berita tersebut. Akhir abad ke-13, Marcopolo yang kembali dari Cina lewat lautan, mencatat bahwa di negeri Perlak saat itu sudah ada pemukim muslim Cina,  Persia dan Arab.
Historiografi Jawa mengungkapkan  bahwa dalam usaha mengislamkan Jawa, Sultan Al-Gabah (nama daerah dekat Samarkand-pen) dari negeri Rum mengirim 20.000 keluarga muslim untuk menghuni Jawa yang kala masih dihuni siluman, peri, mambang, brekasakan, dan ruh-ruh jahat. Namun dikisahkan bahwa dari 20.000  keluarga muslim  itu tewas terbunuh oleh para siluman dan makhluk-makhluk halus yang jahat. Lalu dilaporkan kepada Sultan al-Gabah bahwa dari 20.000 keluarga itu hanya tersisa 200 keluarga. Sultan Al-Gabah murka lalu mengirim para ulama sakti untuk melawan para siluman beserta balanya. Di antara ulama itu terdapat Syaikh Subakir yang menanam tumbal agar Jawa bisa dijadikan hunian umat Islam. Setelah menumbali Jawa, Syaikh Subakir dikisahkan kembali ke Persia.
Tahun 1386 penduduk muslim Cina di Kanton, Yangchou dan Chanchou banyak yang mengungsi ke selatan akibat tidak setuju dengan kebijakan kaisar pertama dinasti Ming, Shu Yuan Zhang, yang menjadikan suku  “Han”  sebagai identitas nasional suku-suku dan bangsa—bangsa yang tinggal di wilayah Ming.  Penduduk muslim Cina kemudian mengungsi ke selatan dan menghuni pantai utara Jawa dan pantai Timur Sumatera. Mereka berpangkalan di Palembang dipimpin Liang Tau Ming, Cheng Po-ko, Chen Tsui, Shi Chin Ching. Tahun  1405 Cheng Ho yang datang ke Jawa mencatat bahwa di Tuban, Gresik dan Surabaya terdapat masing-masing 1000 orang keluarga Cina muslim.  Dalam tujuh kali muhibahnya,  Cheng Ho dikisahkan dalam pelbagai historiografi lokal  meninggalkan mubaligh-mubaligh untuk berdakwah di Jawa dan Sumatera. Namun seperti para migran muslim yang mengungsi dari Kanton, Yangchou dan Chanchou, para  mubaligh yang ditinggalkan Cheng Ho, belum bisa menyebarkan secara luas ajaran Islam di kalangan  penduduk pribumi. Haji Ma Huan pada 1433 mencatat warga pribumi yang tinggal di kota-kota pantai utara Jawa masih kafir, memuja roh dan hidup sangat kotor.
Migrasi penduduk muslim terbesar terjadi antara 1446 – 1471, ketika negeri Campa terlibat perang dan dikalahkan Vietnam. Penduduk muslim Campa lari ke selatan dan menghuni pantai timur Sumatera dan pantai utara Jawa. Sebagian di antaranya  berkumpul dengan penduduk muslim Campa yang tinggal di ibukota Majapahit sejak 1430-an. Gelombang migrasi penduduk muslim Campa inilah yang paling besar peranannya dalam proses Islamisasi di Indonesia, karena Islam Campa dewasa itu  dikembangkan melalui aspek sosio-kultural-religius, yang dipelopori tokoh-tokoh spiritual yang dikenal sebagai guru tasauf. Itu sebabnya, James L. Peacock (1978) menyatakan bahwa Islam yang datang di Nusantara adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme. 

Ajaran Kapitayan
Jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno  yang disebut Kapitayan – yang  secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme --  yaitu  agama yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindera. Orang Jawa mendefinisikan  Sanghyang Taya dalam satu kalimat “ tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna ‘daya gaib’ yang bersifat adikodrati.
TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki  dua  sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han  disebut dengan nama Sanghyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan  disebut dengan nama Sang Manikmaya.  Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.
Oleh karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut TU atau TO itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama TU atau TO. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-TU, TU-gu, TU-tuk, TU-nda,  TU-lang, TU-nggul, TU-ak, TU-k, TU-ban, TU-mbak,  TU-nggak, TU-lup,TU-ngkub,  TU-rumbukan, un-TU, pin-TU, TU-tud, TO-peng, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, TO-ya (sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarcopagus, dll).  Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui sarana-sarana inilajh, orang menyediakan sesaji berupa TU-mpeng, TU-mbal, TU-mbu, TU-kung, TU-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib.
Seorang hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib yang bersifat positif (TU-ah) dan yang bersifat negatif (TU-lah). Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-TU atau  dha-TU. Mereka yang sudah dikaruniai TU-ah dan TU-lah,gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya, ra-TU atau dha-TU, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi keteguhan disebut PI-andel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut PI-tapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PI-ndodakakriya (nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan  kekuatan disebut PI-deksa. Jika mereka meninggal dunia disebut PI-tara.  Seorang ra-TU atau dha-TU, adalah pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ra-TU adalah citra Pribadi Sanghyang Tunggal.
Dengan prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-TU dan dha-TU tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-TU yang dituntut keharusan fundamental memiliki TU-ah dan TU-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis pada anak keturunannya. Seorang ra-TU harus berjuang keras menunjukkan keunggulan TU-ah dan TU-lah,  dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan   Raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan ra-TU. Dengan demikian, ra-TU adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya, baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan Tu-ah dan TU-lah yang dimilikinya.

Ajaran Bhagavatisme           
Pengaruh Kapitayan dalam sistem kekuasaan Jawa dengan konsep ra-TU dan dha-TU, mengalami perubahan ketika pengaruh Hinduisme terutama ajaran Bhagavatisme yang dianut oleh para pemuja Vishnu masuk ke Nusantara. Ajaran Bhagavatisme dianggap lebih mudah dalam pelaksanaan ditambah sistem kepewarisan tahta yang bersifat kewangsaan, telah memberi motivasi bagi  raja-raja Nusantara  yang awal untuk  menganut Vaishnava.
Sekalipun pengaruh sistem kekuasaan Hindu dengan konsep rajawi dianut oleh penguasa-penguasa  di Nusantara, namun sistem lama yang bersumber dari ajaran Kapitayan tidak dihilangkan. Keberadaan seorang raja atau maharaja, misal, selalu ditandai oleh kedudukan ganda  sebagai ra-TU atau dha-TU. Sehingga seorang raja, dipastikan memiliki tempat khusus yang disebut ‘keraton’ atau ‘kedhaton’ di samping bangsal dan puri. Selain itu, seorang raja  selalu ditandai oleh kepemilikan atas benda-benda yang memiliki kekuatan gaib seperti wa-TU, TU-nggul, TU-mbak, TU-lang, TO-san, TO-pong, TO-parem, TO-wok, dsb. Sistem kekuasaan  di Nusantara  mensyaratkan keberadaan ra-TU dengan benda-benda ber-TU-ah.
Akibat pengaruh Bhagavatisme, sepanjang sejarahnya keberadaan kekuasaan di Nusantara tidak terpisah dari  agama dan wangsa. Sebab kedudukan raja hanya dimungkinkan bersifat kewangsaan berdasar kepewarisan trah. Bahkan akibat  kuatnya pengaruh Bhagavatisme, kewangsaan dan keagamaan menjadi sebuah keniscayaan bagi dinasti raja-raja Nusantara.Fakta sejarah menunjuk, agama dan wangsa adalah dua hal yang tidak terpisah dalam sejarah  pasang dan surutnya kekuasaan di Nusantara. Hal itu terjadi, karena keberadaan agama di Nusantara selain cenderung menjadi identitas wangsa-wangsa penguasa kerajaan juga terkait dengan trah atau dinasti-dinasti dari ratu-ratu sebelumnya. Kasus perebutan tahta Mataram (kuno) antara Wangsa Sanjaya yang Hindu dan Wangsa Syailendra yang Buddha, adalah salah satu bukti  kuatnya pengaruh Hinduisme di dalam   kekuasaan di Nusantara  sejak zaman purbakala.
Keterkaitan antara agama dan wangsa yang terjadi pada era Mataram (kuno), berlanjut pada masa persaingan antara Kerajaan Janggala yang cenderung menganut Sivaisme dan Kerajaan Panjalu yang cenderung menganut Vaishnava. Keberadaan Sriwijaya yang Buddhis, terbukti dianggap ancaman oleh raja-raja Jawa sampai era Panjalu. Bahkan saat Panjalu runtuh digantikan Tumapel, terjadi persaingan kuat antara keturunan Rajasa Sang Amurwabhumi yang Sivais dan keturunan Tunggul Ametung yang Vaishnava. Boleh jadi karena pertikaian dalam hal agama di antara keturunan Rajasa dan Tunggul Ametung harus diakhiri, maka sejak era Kertanegara dianut agama Siva-buddha yang merupakan suatu faham di luar mainstream Hindu dan bercorak shakta. Sehingga pada saat Singasari runtuh digantikan Majapahit, para wangsa yang keturunan Rajasa Sang Amurwabhumi dengan setia menganut ajaran Siva-buddha. Dan semua wangsa di Majapahit – baik keturunan Rajasa maupun Tunggul Ametung – menganut Siva-buddha. Namun saat kekuasaan berpindah ke tangan keturunan Tunggul Ametung lewat naik tahtanya Wikramawarddhana, mulai terlihat perubahan-perubahan nuansa ajaran Siva-buddha yang banyak dipengaruhi munculnya unsur-unsur lokal. Sehingga di masa Rani Suhita, unsur lokal itu sangat kelihatan sebagaimana tercermin pada Candi Sukuh. Bahkan di era Prabhu Kertawijaya, unsur lokal dan Islam mulai tampak sebagaimana tercermin pada Candi Cetha.
Sepeninggal Prabhu Kertawijaya, Majapahit dijadikan rebutan antara keturunan Kertawijaya dan keturunan saudaranya, Bhre Tumapel. Dalam perebutan itu, tampak sekali terjadinya nuansa keagamaan yang menandai masing-masing pihak. Keturunan Bhre Tumapel seperti Bhre Pamotan Sang Sinagara, Hyang Purwawisesa dan Bhre Kretabhumi adalah penganut Siva-buddha. Sementara keturunan Kertawijaya seperti Ario Damar dan Raden Patah menganut Islam meski Prabhu Girindrawarddhana cucu Prabhu Kertawijaya masih memeluk Siva-buddha.
Ajaran  Dewaraja & Nawadewata
  Sejak awal sejarah kekuasaan di Jawa yang dimulai di Tarumanagara dengan raja Sri Paduka Purnawarman Bhimaparakramadhipa, raja-raja Jawa cenderung menganut Vaishnava. Hal itu, kemungkinan terkait kuat dengan alasan rasional tentang ajaran bhagavatisme dalam Vaishnava, tentang avatar (manusia Ilahi) titisan Vishnu, di mana  kedudukan seorang raja, dalam konteks Vaishnava, adalah jelmaan Tuhan di dunia sebagaimana Raja Ayodhya, Sri Rama, dan Raja Dvaravati, Sri Krshna.
    Bertolak dari ajaran bhagavatisme dalam  Vaishnava tersebut,  lahir konsep ‘dewaraja’ dalam pemujaan terhadap Tuhan, di mana ajaran tersebut kemudian mempengaruhi pula ajaran Siva-buddha. Dengan kecenderungan itu, maka raja-raja di Jawa tidak saja menuai keuntungan politis sebagai penguasa tunggal yang mewakili Tuhan di wilayah kekuasaannya, melainkan dijadikan pula sesembahan oleh para kawula. Vishnuwarddhana, Raja Tumapel, diyakini sebagai titisan Vishnu dan dipuja di Jayaghu sebagai Siva-buddha karena para pendiri candi Jayaghu penganut Siva-buddha. Kretanegara dipuja sebagai Siva di candi Singasari tetapi dipuja sebagai Buddha di candi Jajawi.
    Konsep pemujaan ‘dewaraja’ yang bersumber dari ajaran bhagawatisme berlanjut hingga ke masa masuknya Islam di Nusantara. Makam para susuhunan (Jawa Kuno: raja, guru suci) dijadikan peziarahan untuk mencari berkah dan meminta pertolongan. Dan tidak berbeda dengan konsep’dewaraja’, kalangan umat Islam awam menjadikan makam-makam para susuhunan yakni raja-raja atau guru sucinya sebagai tawasul  dalam menyembah Tuhan. Konsep pemujaan terhadap ‘dewaraja’ yang berlanjut hingga ke masa Islam, hanyalah bagian dari pengaruh-pengaruh agama dalam kekuasaan dan kehidupan masyarakat Jawa. Konsep keagamaan lain yang juga nampak, adalah diterapkannya gagasan Nawadewata atau Nawasanga dalam konsep kekuasaan Hindu yang meliputi Vishnu (utara), Sambhu (timur laut), Iswara (timur), Rudra (tenggara), Brahma (selatan), Maheswara (barat daya), Mahadewa (barat), Sangkhara (barat laut), dan Paramasiwa (pusat). Konsep Nawasanga inilah yang di era kerajaan-kerajaan Islam disebut dengan nama Wali Songo, yang sesungguhnya bermula dari gagasan Syaikh Siti Jenar tentang Wali Nagari di Cirebon. Bahkan salah satu anggota Wali Songo yang paling berkuasa, menggunakan gelar Siva yakni Prabhu Satmata yang bersemayam di Giri Kedhaton.

 Ajaran Gurubhakti
Salah satu proses Islamisasi yang dilakukan para pengungsi Campa yang  melalui asimilasi budaya dan pengambil-alihan lembaga pendidikan Syiwa-buddha yang disebut Asrama dan Dukuh menjadi Pondok Pesantren,  menunjukkan hasil menakjubkan. Karena para guru tasauf  mampu memformulasikan nilai-nilai sosio-kultural religius yang dianut masyarakat  Syiwa-buddha dengan nilai-nilai Islam, terutama memformulasi nilai-nilai Tauhid Syiwa-buddha (adwayasashtra)   dengan  ajaran Tauhid Islam yang dianut para guru sufi.
Dengan kewaskitaan seorang arif yang sudah tercerahkan, para guru sufi mengambil alih sistem pendidikan Syiwa-buddha yang disebut Dukuh, yaitu pertapaan untuk mendidik calon pendeta yang disebut wiku. Naskah-naskah berjudul Silakrama, Tingkahing Wiku dan Wratisasana yang berasal dari era Majapahit, memuat tatakrama siswa di Dukuh  dalam menuntut pengetahuan, yang disebut Gurubhakti yang berisi tatatertib, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilakukan para siswa kepada guru ruhaninya. Para siswa, dalam tatakrama itu,  tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasehat guru meski dalam keadaan marah, berkata-kata yang menyenangkan guru, jika guru datang harus turun dari tempat duduknya, jika guru berjalan mengikuti dari belakang, dsb. Ketundukan siswa kepada guru adalah mutlak.
            Gagasan gurubhakti  dalam Silakrama mencakup tiga (triguru), yaitu orang tua yang melahirkan (guru rupaka), guru yang mengajarkan pengetahuan ruhani (gurupangajyan) dan raja (guruwisesa). Gagasan ini kita, sampai sekarang masih  temukan dalam masyarakat muslim di Madura yang mengenal konsep bapa-babu-guru-ratu – pen). Yang paling beroleh penghormatan dari ketiga guru itu adalah gurupangajyan, karena gurupangajyan telah membukakan kesadaran kedua untuk mengenal kehidupan di dunia dan akhirat hingga mencapai moksha. Khusus untuk gurupangajyan di Dukuh-dukuh yang mengajarkan laku spiritual dan berhak melakukan diksha (baiat) disebut dengan gelar Susuhunan. Demikianlah, guru-guru sufi di masa silam mendapat gelar susuhunan; Dukuh disebut Pesantren – tempat para santri belajar – di mana santri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra) sebagaimana dikemukakan C.C. Berg (dalam Gibb, 1932:257); sementara tatakrama dalam menuntut pengetahuan (gurubhakti) diwujudkan dalam aturan-aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh Ibrahim Ibnu Ismail.

Ajaran Yamabrata
          Selain gurubhakti, seorang siswa dalam menuntut pengetahuan diwajibkan menjalankan ajaran Yamabrata, yakni  ajaran   yang mengatur tatacara pengendalian diri, yang  meliputi prinsip hidup yang disebut ahimsa (tidak menyakiti, tidak menyiksa, tidak membunuh), menjauhi sifat krodha (marah), moha (gelap pikiran), mana (angkara murka),  mada (takkabur), matsarya (iri dan dengki), dan raga (mengumbar nafsu). Di dalam naskah Wratisasana disebutkan lima macam yamabrata yang mencakup ahimsa, brahmacari, satya, aharalaghawa, dan asteya.   Meski  prinsip  ahimsa dimaknai tidak menyakiti dan tidak membunuh dan  seorang wiku harus memiliki sifat kasih sayang terhadap semua makhluk, namun ditegaskan bahwa seorang wiku (siswa ruhani), boleh melakukan himsakarma (qishash), yaitu membunuh atau menyakiti orang jahat yang berlaku kejam terhadap dirinya dalam usaha bela diri. Tetapi himsakarma tidak boleh dilakukan terhadap penjahat yang sudah tertangkap dan tidak berdaya. Wiku yang disiksa, ditindas, dianiaya, dipukuli, dicaci-maki, harus membalasnya secara setimpal.
            Seorang wiku diharuskan bersifat satya yaitu jujur, tidak bicara kotor (wakparusya), ucapannya tidak menyakitkan hati, tidak memaki, tidak menggerutu dan menyumpahi, tidak berdusta (ujarmadwa). Satya juga bermakna taat dan setia melakukan brata yang terkait dengan makanan, minuman, tatacara berpakaian, tempat tinggal, hingga perhiasan yang disebut sebagai satyabrata. Di antara isi satyabrata yang sangat mirip syariat Islam adalah yang menyangkut halal dan haramnya makanan (tan bhaksanan) dan minuman (apeya-peya), di mana seorang wiku diharamkan memakan:  daging babi peliharaan (celengwanwa), anjing (swana), landak, biawak, kura-kura (kurma), badak (warak), kucing (kuwuk), tikus, ula, macan, kukur (ruti), kalajengking (teledu), kera (wre), rase, tupai (wut), katak (wiyung), kadal (dingdang kadal), hewan melata, burung buas (krurapaksi), burung gagak (nilapaksi), lalat (laler), kepinding (tinggi), kutu (tuma), ulat atau cacing tanah (bhuhkrimi), dsb. Seorang wiku tidak boleh memakan makanan yang tidak suci (camah) atau menjijikkan dan diragukan kesuciannya. Selain makanan, seorang wiku juga  wajib menghindari minuman keras yang memabukkan seperti arak, nira, anggur, brem, ciu. Demikianlah, ajaran Yamabrata ini sampai sekarang dapat kita saksikan dalam kehidupan par santri di pesantren.          

Ajaran Niyamabrata
            Ajaran Niyamabrata tak jauh beda dengan Yamabrata, yaitu pengendalian diri. Tetapi niyamabrata memiliki makna tingkat lebih lanjut. Silakrama menyebut, niyamabrata bukan saja melarang wiku marah tetapi sudah pada tingkat tidak suka marah (akrodha). Secara ruhani, siswa selalu ingin berhubungan dengan guru (gurususrusa), memohon kebersihan batin (sausarcara), mandi tiap hari mensucikan diri (madyus acuddha sarira), bersembahyang memuja Syiwaditya,  melatih menyemayamkan Tuhan di dalam hati (maglar sanghyang anusthana), berdoa (majapa), dan mahoma. Di dalam ajaran  tasauf, yamabrata dan niyamabrata dapat dibandingkan dengan takhalli (usaha membersihkan diri dari nafsu-nafsu rendah -pen) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat Ilahi-pen) sehingga seorang penempuh jalan ruhani tercapai tajalli (penyingkapan diri-pen), yakni  beroleh pencerahan  mengetahui Kebenaran Sejati. Demikianlah, ajaran tasauf dapat diterima masyarakat karena ada anggapan umum bahwa pengetahuan ruhani Islam tidak berbeda dengan Syiwa-buddha.

 Ajaran Awaharalaghawa
            Ajaran Aharalaghawa adalah bagian dari niyamabrata yang bermakna tidak berlebihan. Ini dalam konsep Jawa disebut Madya -- ora ngoyo lan orang ngongso – tidak berlebihan dan tidak melampaui batas (di dalam Islam disebut wasathan – pen). Aharalaghawa, lebih dimaknai makan tidak berlebihan (tidak makan jika tidak lapar dan makan pun tidak boleh kenyang), memakan makanan suci, membatasi makan daging (bhogasarwamangsa), bersyukur dengan makanan yang dimakan (santosa), tidak rakus (wubhuksah), tidak malas dalam menjalankan  kewajiban (apramada)
            Bagian akhir sesudah aharalaghawa adalah asteya, yaitu tidak mengikuti hasrat hati untuk memiliki hak milik orang lain bahkan terhadap hak binatang sekalipun. Silakrama menyebut, jika seorang wiku mengambil milik orang lain tanpa ijin (panolong-nolongan), mencuri (malinga), mengutil (angutil), menadahi hasil kejahatan (anumpu), merampok (ambegal), melakukan tindak kriminal (corah), merampas (angalap), berkawan pencuri (amitra maling), meminjam tidak mengembalikan (anelang drewyaning sanak tan pangulihaken), utang-piutang dengan bunga (rna-rni), berjudi (ajudi), dan perbuatan nista lain, maka ia akan jatuh martabat dan kehormatannya (panten).  Wiku yang panten akan dikucilkan, tidak boleh dilihat (tan wenang tinghalana) dan tidak boleh diajak bicara (sabhasanen).
            Berdasar uraian  di muka, jelaslah bahwa dalam pendidikan seorang wiku (calon pendeta Syiwa-buddha) di tempat yang disebut Dukuh,  menunjukkan kemiripan dengan pendidikan di  pesantren-pesantren tradisional Islam, di mana  aspek pendidikan lebih dititik-beratkan kepada pembentukan watak dan  budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak mulia, cerdas, berbudi pekerti luhur,  jujur, tidak membenci, suka menolong, menjalankan ‘syariat’ dengan baik, selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bertolak dari kemiripan-kemiripan nilai-nilai dan ajaran Syiwa-buddha dengan Islam, para ulama sufi di era Wali Songo dapat dengan baik membumikan Islam di Jawa melalui asimilasi, di mana salah satu usaha yang  dilakukan oleh ulama-ulama era Wali Songo tersebut adalah mengembangkan jumlah  dukuh  ke berbagai Thani (sebutan desa di era Majapahit – pen). Yang paling jelas menyisakan legenda dan mitos pembangunan dukuh-dukuh ini adalah tokoh Syaikh Lemab Abang atau Syaikh Siti Jenar, yang diketahui membangun puluhan dukuh bercitra caturbhasa mandala yang dinamai Lemah Abang (tanah merah), Lemah Putih (tanah putih), Lemah Ireng (tanah hitam), dan Ksiti Jenar (tanah kuning). Di Ampel Denta pun, letak dukuh berada di selatan masjid yang sampai sekarang dikenal dengan toponim Kampung Dukuh.
Tampaknya, melalui pengembangan dukuh-dukuh yang semula merupakan tempat bermukimnya para siswa dan wiku, ajaran Islam dapat berkembang di tengah masyarakat. Sebab semakin banyak dukuh dan semakin banyak orang menjalani kehidupan sebagaimana seorang wiku, ajaran Islam yang mirip tatanan Syiwa-buddha bagi wiku itu semakin berkembang luas di tengah masyarakat. Itu sebabnya,  kelahiran Islam tradisional yang khas dari lembaga pendidikan tradisional yang kemudian dikenal dengan nama  Pesantren  sangat  akrab dengan istilah-istilah lokal keagamaan Syiwa-buddha yang ‘membumikan’ istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab seperti Gusti Allah (Allah), Kangjeng Nabi (Nabi Muhammad Saw), Susuhunan (syaikh), Kyai (‘alim), Guru (ustadz), Santri (murid), Pesantren (halaqah/ ma’had/ madrasah), Sembahyang (shalat), Upawasa (shoum), Selam (khitan), Tajug atau  Langgar (mushola), Swarga (jannah), Neraka (naar), Bidadari (hurin), Sabar (shabar), Adil (‘adil), Lila (ridha), andap-asor (tawadlu’), Ngalah (tawakkal), dan tradisi-tradisi keagamaan Syiwa-buddha yang tidak terdapat dalam ajaran Islam seperti Bedhug (tambur tengara sembahyang di sanggar atau  vihara), Tumpeng, Tumbal, Nyadran  (dari upacara Sraddha, yaitu berkirim doa kepada arwah leluhur), dsb.

Asimilasi Sosio-Kultural-Religi Masyarakat
            Dr Th. G. Th Pigeaud dalam Javaansche Volksvertoningen (1938) mengemukakan bahwa wayang kulit purwa yang dikenal sebagaimana sekarang ini adalah produk yang dihasilkan oelh wali-wali penyebar Islam. Menurut Soekmono (1959) yang menjadi dasar dan pokok kebudayaan Indonesia jaman madya adalah kebudayaan purba (Indonesia asli), tetapi telah diislamkan. Yang dimaksud kebudayaan purba dalam konteks itu adalah kebudayaan Malaio-Polinesia pra-Hindu yang oleh Prof Dr C.C Berg  (1938) dan Pof Dr G.J. Held (1950) disebut animisme dan dinamisme, yaitu kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki “daya sakti” dan kepercayaan terhadap arwah. Proses Islamisasi kebudayaan purba sebagaimana ditengarai Soekmono, adalah bukti asimilasi yang dilakukan para penyebar Islam generasi Wali Songo.
            Pengaruh terbesar kehadiran para pengungsi Campa di Indonesia adalah terjadinya asimilasi budaya Campa ke dalam tradisi keagamaan di Indonesia. Salah satu ciri tradisi keagamaan Campa yang dianut di Indonesia adalah dianutnya kebiasaan untuk memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000. Orang mati ditalqin. Peringatan haul. Tradisi Garebeg Suro dan  Garebeg Maulud yang dijalankan sejak abad ke-15 adalah usaha asimilasi untuk membumikan ajaran Islam (Sunyoto, 2004).
            Asimilasi terhadap kepercayaan lama yang terjadi dengan kepercayaan muslim Campa, terlihat dari keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar manusia. Menurut Sedyawati (1994) kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk halus terbatas pada makhluk-makhluk yang dianggap setengah dewa seperti “yaksha, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara, widhyadara, mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton. Sementara kepercayaan orang Campa muslim meliputi berbagai jenis makhluk halus seperti gandharwa, kelong wewe, kuntilanak, pocong, tuyul, kalap, siluman, jin muslim, hantu penunggu pohon, arwah penasaran. Di dalam proses asimilasi itu, orang-orang Indonesia terpengaruh oleh kepercayaan takhayul khas Campa seperti percaya terhadap hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada  malam hari, menyebut harimau dengan sebutan “eyang”, dsb.

Asimilasi dalam Usaha Bina Negara
            Sekalipun asimilasi dilakukan di pesantren-pesantren, namun dalam aplikasi penyebaran hasil asimilasi kepada masyarakat terdapat kecenderungan menggunakan keraton (negara) sebagai sentral.   Demak adalah Kerajaan Islam pertama di Jawa pasca runtuhnya Majapahit yang dianggap menjadi sentral penyebaran asimilasi sosio-kultural-religius itu. Menurut historiografi Jawa, Kerajaan Demak ditegakkan oleh Raden Patah dengan gelar Sultan Abdul Fatah Senapati Jimbun Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, yang merupakan murid Susuhunan Ampel. Sekalipun Demak dianggap Kerajaan Islam, namun tata pemerintahan dan produk hukum yang dijadikan acuan penegakan negara menunjuk pada pola Majapahit. Angger Surya Ngalam, kitab hukum era Demak, meski merujuk pada kitab Al-Anwar namun secara substansial lebih dekat kepada hukum yang termaktub di dalam kitab Salokantara dan Kutaramanawa Dharmasashtra dari Majapahit. Hal itu menunjuk bahwa proses asimilasi sosio-kultural-religius dilakukan juga pada usaha bina negara oleh santri alumnus Dukuh Ampel Denta tersebut. Bahkan belakangan, putera Raden Patah yang bernama Trenggana, menyempurnakan syarat-syarat berdirinya sebuah kekuasaan tradisional dengan memboyong pusaka-pusaka Majapahit ke Demak, sehingga Demak dianggap sebagai kelanjutan Majapahit.
            Secara tradisional, keberadaan sebuah negara agar mendapat legitimasi dari rakyat diwajibkan memenuhi prasyarat-prasyarat tertentu. Pertama, negara harus memiliki seorang ratu yakni manusia kuat yang diliputi kekuatan-kekuatan supranatural dan memiliki kemampuan memimpin negara. Kedua, kewibawaan negara hanya mungkin terjadi jika negara ditunjang oleh kekuatan supranatural yang berupa pusaka-pusaka yang memiliki daya sakti sehingga negara yang tidak memiliki pusaka kurang mendapat  legitimasi di mata rakyat.  Ketiga, sejak era Kalingga pada abad ke-7 Masehi sebuah penegakan hukum yang keras menjadi prasyarat bagi otoritas negara dalam mengatur tatanan warganegara. Keempat, kekuasaan seorang pemimpin negara akan legitimated di mata rakyat jika didukung oleh kalangan elit spiritual. Kasus runtuhnya kekuasaan Kertajaya penguasa Kediri, jelas bermula dari penolakan dukungan para pendeta Syiwa atas kebijakannya untuk disembah sebagai penjelmaan dewa. Sampai penegakan Kerajaan Demak, kedudukan Wali Sanga sebagai lembaga tempat elit spiritual keagamaan  menjadi penopang utama kerajaan tersebut. Ketika Sultan Adiwijaya menjadi penguasa Pajang, keabsahannya baru mendapat legitimasi rakyat setelah dilantik oleh Sunan Prapen dari Giri. Demikian pun raja-raja Mataram, selalu mendapat legitimasi dari Sunan kalijaga dan keturunannya. Dan fenomena semacam itu, tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai suatu asimilasi dari sistem  kekuasaan tradisional dengan Islam.

*) Disampaikan pada Pendidikan Kader Penggerak NU Angkatan II tanggal 8 – 16 Juni
    2012 di Rengasdengklok, Karawang. Penyaji adalah Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU;
    Pengasuh Pesantren Global Tarbiyyatul Arifin Malang; Pengajar pada Fakultas Ilmu
    Budaya Universitas Brawijaya Malang. 
           

 Oleh: Agus Sunyoto

     

Daftar Kepustakaan
Amir, Hazim, Nilai-nilai Etis dalam wayang dan pendidikan watak guru (Disertasi tidak dipublikasi).
Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang, 1986.
Appelbaum, R.P., Theories of Social Change, Chicago: Markham Publishing, 1970.
Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Kalimasahada Press, 1993.
Babad Sangkala: - Naskah di Museum Nasional Jakarta. Koleksi Brandes No. 608.
De Graaf, H.J., Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara Historisitas dan Mitos., Yogya: Tiara Wacana, 1998.
De Graaf, H.J. dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafiti Pers, 1989.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Fatimy, S.Q., Islam Comes to Malaysia, Singapore: Malaysian Sociological Research Institute, 1963. 
Geertz, Clifford, The Religion of Java, London: The Free Press of  Glencoe, 1960
Groeneveldt, W.F., Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources, Djakarta: Bhratara, 1960.
Ecole Francaise D’extreme-Orient, Kerajaan Campa, Jakarta: Balai Pustaka, 1981.
Hirth, F. And Rockhill, W.W., Chau-Ju-Kua: His Work on the Chinese and Arab  Trade in the Twelfth and thirteenth Centuries, entitle Chu-fan-chi, Amsterdam, 1966.
Meinsma, J.J., Babad Tanah Djawi in Proza. Javaansche geschiedenis loopende tot het jaar 1647 der Javansche jaartelling. ‘s-Gravenhage: KITLV, 1884-1899, 2 jilid.
Peacock, James L., Purifying the Faith. California, 1978.
Pigeaud, Th. G. Th., Java in Fourteenth Century : A Study in Cultural History, The Hague: Martinus-Nijhoff, 1962.
Puniyatmadja, Ida bagus Oka, Silakrama, Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat, 1975.
Sedyawati, Edi, Pengarcaan Ganesa masa Kediri dan Singhasari, Jakarta-Leiden: EFEO-LIPI-Rijk Universiteit te Leiden, 1994.
Soekmono, R., Candi, Fungsi dan Pengertiannya (Disertasi tidak dipublikasi), Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1974.
Sunyoto, Agus, Ajaran Tasauf dan pembinaan sikap hidup santri Pesantren Nurul Haq Surabaya: Studi Kasus. (Tesis tidak dipublikasi). Malang: FPS IKIP.
____________, Sunan Ampel Raja Surabaya, Surabaya: Diantama, 2004.
Tingkahing Wiku, (naskah berbahasa Jawa Kuno ditranskrip I Made Gambar).
Van Dusen, Henry P., God and Education, New York: Scribners, 1951.                          

Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *